Korupsi di Indonesia mencapai taraf yang sangat
mengkhawatirkan. Korupsi menyerang dan
bersarang di institusi negara dalam berbagai tingkatan pemerintahan, baik pusat
maupun daerah. Tak terhitung kerugian yang ditanggung bangsa ini atas kejahatan
korupsi. Efek destruktifnya merenggut hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat,
menggerogoti kesejahteraan dan demokrasi, merusak hukum serta melemahkan
pembangunan. Sudah banyak kasus korupsi diungkap, banyak pula koruptor yang
diadili dan dijebloskan ke penjara, namun praktik korupsi terus terjadi.
Masyarakat kini menaruh harapan besar pada Komisi Pemberantasan
Korupsi, institusi yang berperan sebagai mata pedang pemberantasan korupsi. Namun
pada dasarnya kekuatan terbesar penggerak pedang tersebut terletak pada
partisipasi masyarakat. Upaya pencegahan serta pemberantasan korupsi sulit
dilakukan jika dukungan dan partisipasi masyarakat masih rendah. Untuk
mewujudkan partisipasi masyarakat yang berdaya, maka perlu didasari penanaman nilai,
moralitas dan semangat anti korupsi di masyarakat. Daya tahan moralitas serta
nilai anti korupsi dalam kehidupan masyarakat inilah yang menjadi kekuatan dalam
mendorong keyakinan, keberanian dan responsivitas partisipasi masyarakat
memerangi korupsi.
Mewaspadai Ancaman Terbesar Korupsi
Hasil survei Transparency International tahun 2011 kembali
menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup dengan skor indeks
persepsi korupsi sebesar 3,0. Rendahnya angka ini menggambarkan betapa parahnya
korupsi di negeri ini. Namun jika melihat kenyataan dilapangan, dipastikan
korupsi yang terjadi lebih buruk dari yang tergambar dalam indikator tersebut. Sejak
otonomi daerah diberlakukan, pusaran korupsi terus menyebar dan tumbuh subur di
tingkat daerah. Praktik korupsi seperti penyalahgunaan, penyuapan, penggelapan,
gratifikasi, mark up, akrab mengintai
dalam proses pengadaan barang dan jasa, bantuan sosial, proyek-proyek
pembangunan, proses peradilan maupun layanan publik.
Korupsi acapkali menciptakan ketidakberdayaan di masyarakat
ketika bersentuhan dengan pemenuhan kepentingan publik seperti dalam proyek
pembangunan, bantuan sosial dan layanan publik. Kecil namun terjadi secara
jamak, korupsi konteks ini menyeret masyarakat terlibat didalamnya. Dalam
banyak kasus di daerah, masyarakat sebagai pihak yang membutuhkan layanan diposisikan
lemah dihadapan aparatur pemerintah yang memiliki kewenangan dan legitimasi
kekuasaan memberikan layanan. Demi mendapatkan layanan yang dibutuhkan, maka masyarakat
cenderung akan permisif terhadap apa yang dilakukan dan diminta pihak pemerintah
meskipun dalam praktiknya terindikasi korupsi. Sikap permisif masyarakat
ditandai dengan adanya pembiaran dan keengganan melaporkan praktik korupsi yang
terjadi secara kasat mata. Masyarakat justru terjebak dalam budaya patronalistik
demi kelancaran urusannya dan menghindari konflik dengan pemerintah.
Ketika perilaku korupsi menjangkiti masyarakat, maka praktik
suap, pungutan, pemotongan dana bantuan, akan dianggap sebagai hal yang tidak
perlu dipermasalahkan. Maka jadilah korupsi melibatkan masyarakat secara
langsung dan berhasil membungkam suara masyarakat. Inilah ancaman terbesar yang
kita hadapi dari budaya korupsi, yaitu terdegradasinya sistem nilai dan
keyakinan anti korupsi dalam masyarakat. Masyarakat kehilangan keberanian
memegang teguh nilai untuk memerangi korupsi yang diindikasikan dengan
munculnya sikap permisif dan acuh terhadap praktik korupsi. Hal ini disebabkan
oleh ketidakberdayaan dan rasa frustasi masyarakat melawan korupsi. Jika
masyarakat telah terbiasa dengan pola perilaku yang korup, maka akan sangat
sulit menemukan kekuatan untuk memberantas korupsi yang terlanjur menggurita di
Indonesia. Pada akhirnya partisipasi
masyarakat yang diharapkan dapat mendorong pencegahan dan pemberantasan korupsi
akan sulit terwujud.
Menggagas Gerakan Desa Bebas Korupsi
Penanaman nilai-nilai anti korupsi sangat penting
dilakukan sebagai fondasi perlawanan terhadap korupsi. Sikap permisif dan acuh
terhadap korupsi dapat dicegah jika sistem nilai anti korupsi di masyarakat
tertanam kuat. Penanaman nilai anti korupsi akan membentuk daya tahan
moralitas, keberanian, dan responsivitas mencegah dan memberantas korupsi.
Salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut adalah membangun
gerakan desa bebas korupsi. Desa bebas korupsi merupakan gerakan yang dapat diinisiasi
warga masyarakat secara bottom-up, sebagai
proses konstruksi dan implementasi sistem nilai anti korupsi mulai dari
lingkungan terkecil seperti rukun tetangga, rukun warga, dusun, hingga
mendorong pencanangan desa sebagai wilayah bebas korupsi.
Inisiatif ini berangkat dari kepedulian dan keinginan
besar untuk berkontribusi terhadap proses pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Proses diawali dengan membangun wawasan dan kesatuan sikap memerangi korupsi
melalui komunikasi, sosialisasi dan edukasi antar warga masyarakat dalam
forum-forum warga. Masyarakat ditanamkan pemahaman bahwa berkontribusi dalam cegah-berantas
korupsi harus diawali melalui implementasi nilai anti korupsi dari diri
sendiri, keluarga dan lingkungan masyarakat. Dari sana diharapkan terwujud
kesatuan sikap dan komitmen tingkat rukun tetangga, rukun warga, dan dusun sehingga
melahirkan konsensus antar warga untuk menjunjung tinggi nilai dan semangat anti
korupsi dalam perilaku dan struktur kemasyarakatan. Kekuatan kolektif
masyarakat ini selanjutnya digunakan untuk mendorong pemerintah desa
mencanangkan kawasan bebas korupsi di wilayahnya sekaligus mendorong komitmen penyelenggaraan
fungsi pemerintahan berlandaskan prinsip anti korupsi.
Pencanangan desa bebas korupsi sebagai bentuk gerakan
sosial-moral menjadi saluran partisipasi masyarakat untuk tumbuh dan berdaya
dalam melawan korupsi. Masyarakat berperan saling menguatkan nilai dan
moralitas anti korupsi untuk memastikan setiap kegiatan pemenuhan kepentingan
publik bebas dari unsur korupsi. Dalam sistem tersebut diimplementasikan sanksi
sosial yang disepakati dalam konsensus antar masyarakat terhadap tindakan
pembiaran terhadap praktik korupsi. Di tingkat yang lebih tinggi, masyarakat
bertindak melakukan pengawasan (public watchdog)
terhadap penyelenggaraan fungsi pemerintahan, pelayanan publik, pembangunan serta
penggunaan anggaran di tingkat desa. Masyarakat mendorong pemerintah desa untuk
transparan dan akuntabel sebagai bentuk komitmen yang diikrarkan bersama
masyarakat untuk membangun desa bebas korupsi. Masyarakat bersama dengan
pemerintah desa memastikan pelayanan publik, proyek pembangunan maupun
penyaluran bantuan kepada masyarakat bebas dari korupsi. Jika terdapat
perbuatan aparat pemerintah tingkat desa maupun aparat pemerintah di tingkat
yang lebih tinggi terindikasi korupsi, maka masyarakat dapat menjalankan
perannya sebagai pelapor (whistleblower)
atas tindakan tersebut.
Desa bebas korupsi merupakan inovasi gerakan membangun
dan mengimplementasikan secara konsisten nilai, moralitas dan semangat anti
korupsi di masyarakat. Nilai dan semangat anti korupsi yang terbangun, akan menjadi
kekuatan masyarakat untuk berkontribusi mencegah dan memberantas korupsi. Masyarakat
berdaya bersama pemerintah desa membangun wilayah bebas korupsi sekaligus
menjalankan fungsi pengawasan dan pelaporan terhadap indikasi praktik korupsi. Keberhasilan
membangun desa bebas korupsi diharapkan memotivasi dan mendorong masyarakat daerah
lain untuk melakukan replikasi hal serupa. Sehingga dengan kian gencarnya
pencanangan desa bebas korupsi diberbagai daerah, akan semakin memperbesar kekuatan
dan partisipasi masyarakat dalam upaya perlawanan terhadap korupsi. Dengan
demikian masyarakat dapat meningkatkan perannya dalam pencegahan dan
pemberantasan korupsi mulai dari lingkungan terkecil dan berkontribusi bagi
perwujudan kemanfaatan di lingkup yang lebih besar.
***
(Martino)
*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba penulisan nasional anti korupsi KPK (Indonesia Menulis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar